Oleh: Tumanggung Sandipa
Tato (Koleksi Tumanggung Arga Sandipa Batangga Amas)
Tato bagi
masyarakat Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seseorang
dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap
kemampuan seseorang. Karena itu, tato tidak bisa dibuat sembarangan. Ada
aturan-aturan tertentu dalam pembuatan tato atau parung, baik pilihan
gambarnya, struktur sosial orang yang ditato maupun penempatan tatonya. Bahkan
yang membuat tato itupun bukan sembarang orang.
Meski demikian, secara religi tato memiliki makna sama dalam
masyarakat Dayak, yakni sebagai “obor” dalam perjalanan seseorang dalam menuju
alam keabadian, setelah kematian. Karena itu, semakin banyak tato, “obor” akan
semakin terang dan jalan menuju alam keabadian semakin lapang. Meski demikian,
tetap saja pembuatan tato tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya secara
sembarangan, karena harus mematuhi aturan-aturan adat.
Setiap subsuku
Dayak memiliki aturan yang berbeda dalam pembuatan tato. Bahkan ada pula
subsuku Dayak yang tidak mengenal tradisi tato, seperti masyarakat Dayak
Meratus di Kalimantan Selatan (subsuku Dayak manyan). Bagi suku Dayak yang
bermukim perbatasan Kalimantan dan Serawak Malaysia, misalnya, tato di sekitar
jari tangan menunjukkan orang tersebut suku yang suka menolong seperti ahli
pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, menunjukkan orang itu semakin
banyak menolong dan semakin ahli dalam pengobatan.
Bagi masyarakat
Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato menggambarkan
orang tersebut sudah sering mengembara. Karena biasanya setiap perkampungan
Dayak yang mentradisikan tato memiliki jenis motif tatoo tersendiri bahkan
memiliki penempatan tato tersendiri di bagian tubuh mereka yang merupakan ciri
khas suku mereka. Sehingga bagi mereka banyaknya tato menandakan pemiliknya
sudah mengunjungi banyak kampung. Jangan bayangkan kampung tersebut hanya
berjarak beberapa kilometer. Di Kalimantan, jarak antarkampung bisa ratusan
bahkan ribuan kilometer dan harus ditempuh menggunakan perahu menyusuri sungai
lebih dari satu bulan. Karena itu, penghargaan pada perantau diberikan dalam
bentuk tato.
Tato bisa pula
diberikan kepada bangsawan. Di kalangan masyarakat Dayak Kenyah, motif yang
lazim untuk kalangan bangsawan (paren) adalah burung enggang (anggang) yakni
burung endemik Kalimantan yang dikeramatkan. Bagi mereka burung enggang
merupakan rajanya segala burung yang melambangkan sosok yang gagah perkasa,
penuh wibawa, keagungan, dan kejayaan. Sehingga tato motif jenis ini biasanya
diperuntukan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Adapun bagi Dayak Iban,
kepala suku beserta keturunanya ditato dengan motif “dunia atas” atau sesuatu
yang hidup di angkasa. Selain motifnya terpilih, cara pengerjaan tato untuk
kaum bangsawan biasanya lebih halus dan detail dibandingkan tato untuk golongan
menengah (panyen).
Bagi subsuku
lainnya, pemberian tato dikaitkan dengan tradisi menganyau atau memenggal kepala
musuh dalam suatu peperangan. Tradisi ini sudah puluhan tahun tidak dilakukan
lagi, namun dulunya semakin banyak mengayau, motif tatonya pun semakin khas dan
istimewa. Tato untuk sang pemberani di medan perang ini, biasanya di tempatkan
di pundak kanan. Namun pada subsuku lainnya, ditempatkan di lengan kiri jika
keberaniannya “biasa” dan di lengan kanan jika keberanian dan keperkasaannya di
medan pertempuran sangat luar biasa. Pemberian tato yang dikaitkan dengan
mengayau ini, dulunya sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan suku kepada
orang-orang yang perkasa dan banyak berjasa.
Tato atau parung
atau betik tidak hanya dilakukan bagi kaum laki-laki, tetapi juga kaum
perempuan. Untuk laki – laki, tato bisa dibuat di bagian manapun pada tubuhnya,
sedangkan pada perempuan biasanya hanya pada kaki dan tangan. Jika pada
laki-laki pemberian tato dikaitkan dengan penghargaan atau penghormatan, pada
perempuan pembuatan tato lebih bermotif religius.
“Pembuatan tato
pada tangan dan kaki dipercaya bisa terhindar dari pengaruh roh -roh jahat atau
selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Pada subsuku tertentu, pembuatan
tato juga terkait dengan harga diri perempuan, sehingga dikenal dengan istilah
“tedak kayaan”, yang berarti perempuan tidak bertato dianggap lebih rendah
derajatnya dibanding dengan yang bertato. Meski demikian, pandangan seperti ini
hanya berlaku disebagian kecil subsuku Dayak.
Pada suku Dayak
Kayan, ada tiga macam tato yang biasanya disandang perempuan, antara lain tedak
kassa, yakni meliputi seluruh kaki dan dipakai setelah dewasa. Tedak usuu, tato
yang dibuat pada seluruh tangan dan tedak hapii. Sementara di suku Dayak
Kenyah, pembuatan tato pada perempuan dimulai pada umur 16 tahun atau setelah
haid pertama. Untuk pembuatan tato bagi perempuan, dilakukan dengan upacara
adat disebuah rumah khusus. Selama pembuatan tato, semua pria tidak boleh
keluar rumah. Selain itu seluruh keluarga juga diwajibkan menjalani berbagai
pantangan untuk menghindari bencana bagi wanita yang sedang ditato maupun keluarganya.
Motif tato bagi
perempuan lebih terbatas seperti gambar paku hitam yang berada di sekitar ruas
jari disebut song irang atau tunas bambu. Adapun yang melintang dibelakan buku
jari disebut ikor. tato di pergelangan tangan bergambar wajah macan disebut
silong lejau. Adapula tato yang dibuat di bagian paha. Bagi perempuan Dayak
memiliki tato dibagian paha status sosialnya sangat tinggi dan biasanya
dilengkapi gelang di bagian bawah betis. Motif tato di bagian paha biasanya
juga menyerupai silong lejau. Perbedaanya dengan tato di bagian tangan, ada
garis melintang pada betis yang dinamakan nang klinge.
Tato sangat
jarang ditemukan di bagian lutut. Meski demikian ada juga tato di bagia lutut
pada lelaki dan perempuan yang biasanya dibuat pada bagian akhir pembuatan tato
dibadan. Tato yang dibuat di atas lutut dan melingkar hingga ke betis
menyerupai ular, sebenarnya anjing jadi – jadian atau disebut tuang buvong asu.
Baik tato pada
lelaki atau perempuan, secara tradisional dibuat menggunakan duri buah jeruk
yang panjang dan lambat – laun kemudian menggunakan beberapa buah jarum
sekaligus. Yang tidak berubah adalah bahan pembuatan tato yang biasanya
menggunakan jelaga dari periuk yang berwarna hitam.
“Karena itu, tato yang dibuat warna-warni, ada hijau kuning dan merah, pastilah bukan tato tradisional yang mengandung makna filosofis yang tinggi.
“Karena itu, tato yang dibuat warna-warni, ada hijau kuning dan merah, pastilah bukan tato tradisional yang mengandung makna filosofis yang tinggi.
Tato warna-warni
yang dibuat kalangan anak-anak muda saat ini hanyalah tato hiasan yang tidak
memiliki makna apa-apa. Gambar dan penempatan dilakukan sembarangan dan
asal-asalan. Tato seperti itu sama sekali tidak memiliki nilai religius dan
penghargaan, tetapi cuma sekedar untuk keindahan, dan bahkan ada yang ingin
dianggap sebagai jagoan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar